BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti
yang kita ketahui Hukum Pidana adalah sebuah aturan-aturan yang mempunyai
sangsi kurungan, putusan bebas, putusan pidana dan lepas dari tuntutan
pidana. Tindak pidana merupakan
penderitaan baik berupa fisik maupun psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit
hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman bathin. Hal ini bukan
dirasakan oleh pelaku kajahatnnya saja, akan tetapi semua masyarakat pada
umumnya. Untuk itu diberikan pembalasan yang setimpal (sudut objektif) kepada
pelakunya.
Penerapan hukum pidana
atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempunyai arti penting bagi
penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya
hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya
undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi penentuan
tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila
terjadi perbuatan pidana. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum
pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana berlakunya
Hukum Pidana menurut waktu?
2. Bagaimana berlakunya
Hukum Pidana menurut tempat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu
a.
Pasal 1 ayat 1 KUHP
Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1
KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu
ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu
dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan
pidana tersebut.
Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana dan diancam dengan hukumnan oleh undang-undang itu hanya
dapat dihukum dan dituntut berdasarkan
undang-undang pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang
yang berlaku, pada waktu orang tesebut telah melakukan tindakannya yang terlarang
dan diancam dengan hukuman.
Didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung asas legalitas, yakni seseorang
tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada Undang-Undang yang di
buat sebelumnya. Contoh : pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber
crime” yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang
tentang “cyber crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak
bisa diadili atau dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh sebagai wakil
pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi sikap DPR yang menyetujui RUU
ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang.
Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah
transaksi elektronik baik yang dilakukan dalam transasksi perbankan ataupun
komunikasi. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan
situs-situs porno. Termasuk menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.
Disamping itu
dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga
mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap
tindak pidana yang dilakukan seseorang harus
diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu.
b.
Pasal 1 ayat 2 KUHP
Konsep KUHP lebih memperinci perubahan
undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap
berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2)
KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan
undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan
pokok, yaitu:
a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam
perundang-undangan.
b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan.
Menurut
Bambang Poernomo, 2 (dua) ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan
pandangan dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari
hukum peralihan yang peru-musannya seperti itu akan ditiadakn sama sekali
dengan pertimbangan sebagai berikut:
Tidak ada hukum yang
berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum
pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain.
a.
Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/
kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang membentuk
undang-undang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga
perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk
perubahan di sini.
b.
Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana
tidak akan mempunyai arti, karena di dalam prakteknya hakim tetap memegang asas
kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam.
d.
Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis
adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.
Kemudian
Bambang Poernomo, lebih lanjut menyatakan bahwa; Hukum peralihan yang tercantun
di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah mempunyai arti historis bagi suatu
negara yang untuk pertama kali mempunyai dan membentuk kodifikasi atau
undang-undang hukum pidana, sebagai peralihan dari keadaan hukum yang teratur dan
sewenang-wenang menuju kepada tertib hukum pidana. Bagi suatu negara yang akan
atau telah menyempurnakan kodifikasi atau undang-undang hukum pidananya, tidak
secara mutlak harus mencantumkan lagi hukum peralihan seperti Pasal 1 ayat (2)
KUHP itu, dengan konsekuensi bahwa secara prinsip berpegang pada Lex
temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang memuat
lembaga atau yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan tidak dapat
berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian, maupun hal-hal
yang menimbulkan perubahan terhadap isi normanya saja. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hukum pidana mempunyai isi tentang norma dan sanksi pidana,
sehingga sudah sewajarnya apabila isi yang terakhir dijaga oleh lex temporis
delicti (perubahan Pasal 364, 374, 379, 407 (1) KUHP).
Kemudian
Hazwinkel-Suringa, antara lain berpendapat bahwa lebih bermanfaatlah kalau
Pasal 1 ayat (2) KUHP diha-puskan, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan
pidana yang berlaku pada waktu deliklah yang dipergunakan oleh hakim. Hal mana adil, dan berarti semua pembuat delik
diperlakukan sama.[1]
Kerugian yang dapat
ditimbulkan, oleh karena undang-undang baru tidak dapat dipergunakan, dapat
diatasi dengan jalan :
a.
penuntut umum dapat mempergunakan asas oppurtunitas.
b.
Hakim dapat memberikan pengampunan.
c.
Pembuat undang-undang dapat saja memper-hatikan tiap-tiap perubahan undang-undang pidana yang lama
dengan jalan membuat ketentuan pidana khusus.
B. Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat
Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat (locus deliciti)
ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di
Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha
tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi.
Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu :
a.
Aliran yang menentukan di
satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b.
Aliran yang menentukan
beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat.
Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah Arrest HR di Netherland
tahun 1889 tentang “penipuan”.[2] Duduk perkaranya adaalah
sebagai berikut;
Terdakwa dari Amsterdam minta kepada perusahaan di Perancis supaya dikirim
barang-barang atas tanggungannya kepada alamat tertentu di Amsterdam. Surat
pemesanan itu dibuat sedemikian rupa seakan-akan pemesanan tersebut mewakili
perusahaan ekspor secara besar-besaran dan yang mewakili kreditwaarding (dapat
dipercaya utang).setelah barang-barang dikirim dan kemudian ternyata tidak
dibayar, maka dibikin perkara di Amsterdam tadi dengan tuduhan penipuan.
Perkara itu maju di pengadilan Amsterdam. Jawab terdakwa: “penipuan itu terjadi
pada saat barang itu diberikan oleh orang yang kena tipu. Barang-barang itu
diberikan di Perancis, untk seterusnya disampaikan kepada alamatnya di
Amsterdam. Maka dari itu penipuan terjadi diperancis dan bukan di Amsterdam
sehingga pengadilan Amsterdam tidak berhak memriksanya, sebab dalam hal ini
berlaku hukum Perancis. Pendirian HR: tempat kejadian bukanlah ditentukan oleh
tempat dimana akibat dari kelakuan terdakawa itu terjadi, tetapi ditentukan
oleh tempat dimana terdakwa itu berbuat. Sejauh apa yang dari pihaknya yang
diperlakukan bagi kejahatan tersebut.
Teori tentang tempat dimana kelakuan terjadi diluaskan dengan tempat diman
alat yang dipakai oleh terdakwa untuk bekerja, manakala terdakwa dalam
melakukan perbuatan pidana menggunakan suatu alat. Umpamanya membunuh dengan
menggunakan mwmasang bom waktu, locus deliciti adalah tempat dimana
tempat korban di umumkan.
Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah pilih antara tempat
diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga perbuatan selesai
dengan timbulnya akibat.
BAB III
KESIMPULAN
A. Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu
a.
Pasal 1 ayat 1 KUHP
Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1
KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu
ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu
dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan
pidana tersebut.
Didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
asas legalitas, yakni seseorang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana
jika tidak ada Undang-Undang yang di buat sebelumnya.Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis
delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut
ketentuan pidana yang berlaku saat itu.
b.
Pasal 1 ayat 2 KUHP
Konsep KUHP lebih memperinci perubahan
undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap
berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2)
KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan
undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan
pokok, yaitu:
a. Sesudah perbuatan
dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan.
b. Dipakai aturan yang
paling menguntungkan
atau meringankan.
B. Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat
Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat (locus deliciti)
ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di
Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha
tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi.
Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu :
a.
Aliran yang menentukan di
satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b.
Aliran yang menentukan
beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat.
Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah
pilih antara tempat diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga
perbuatan selesai dengan timbulnya akibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar