Kamis, 16 Mei 2013

HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU DAN TEMPAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Seperti yang kita ketahui Hukum Pidana adalah sebuah aturan-aturan yang mempunyai sangsi kurungan, putusan bebas, putusan pidana dan lepas dari tuntutan pidana.  Tindak pidana merupakan penderitaan baik berupa fisik maupun psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman bathin. Hal ini bukan dirasakan oleh pelaku kajahatnnya saja, akan tetapi semua masyarakat pada umumnya. Untuk itu diberikan pembalasan yang setimpal (sudut objektif) kepada pelakunya.
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.


B.  RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut waktu?
2.    Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut tempat

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu

a.      Pasal 1 ayat 1 KUHP
Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pidana tersebut.
Ini berarti bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan diancam dengan hukumnan oleh undang-undang itu hanya dapat dihukum dan dituntut berdasarkan undang-undang pidana atau berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku, pada waktu orang tesebut telah melakukan tindakannya yang terlarang dan diancam dengan hukuman.
Didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung asas legalitas, yakni seseorang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada Undang-Undang yang di buat sebelumnya. Contoh : pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber crime” yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang tentang “cyber crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak bisa diadili atau dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh sebagai wakil pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi sikap DPR yang menyetujui RUU ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang.
Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah transaksi elektronik baik yang dilakukan dalam transasksi perbankan ataupun komunikasi. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan situs-situs porno. Termasuk menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.
Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu.
b.      Pasal 1 ayat 2 KUHP
Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.           
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu:
a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan.
b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan.
Menurut Bambang Poernomo, 2 (dua) ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan pandangan dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang peru-musannya seperti itu akan ditiadakn sama sekali dengan pertimbangan sebagai berikut:
Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan lapangan hukum yang lain.
a.    Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/ kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang membentuk undang-undang baru, untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan di sini.
b.    Perubahan undang-undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena di dalam prakteknya hakim tetap memegang asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang diancam.
d.    Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis adalah asas yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.
Kemudian Bambang Poernomo, lebih lanjut menyatakan bahwa; Hukum peralihan yang tercantun di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah mempunyai arti historis bagi suatu negara yang untuk pertama kali mempunyai dan membentuk kodifikasi atau undang-undang hukum pidana, sebagai peralihan dari keadaan hukum yang teratur dan sewenang-wenang menuju kepada tertib hukum pidana. Bagi suatu negara yang akan atau telah menyempurnakan kodifikasi atau undang-undang hukum pidananya, tidak secara mutlak harus mencantumkan lagi hukum peralihan seperti Pasal 1 ayat (2) KUHP itu, dengan konsekuensi bahwa secara prinsip berpegang pada Lex temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang memuat lembaga atau yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan tidak dapat berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian, maupun hal-hal yang menimbulkan perubahan terhadap isi normanya saja. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum pidana mempunyai isi tentang norma dan sanksi pidana, sehingga sudah sewajarnya apabila isi yang terakhir dijaga oleh lex temporis delicti (perubahan Pasal 364, 374, 379, 407 (1) KUHP).

Kemudian Hazwinkel-Suringa, antara lain berpendapat bahwa lebih bermanfaatlah kalau Pasal 1 ayat (2) KUHP diha-puskan, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku pada waktu deliklah yang dipergunakan oleh hakim. Hal mana adil, dan berarti semua pembuat delik diperlakukan sama.[1]
Kerugian yang dapat ditimbulkan, oleh karena undang-undang baru tidak dapat dipergunakan, dapat diatasi dengan jalan :        
a.    penuntut umum dapat mempergunakan asas oppurtunitas.
b.    Hakim dapat memberikan pengampunan.
c.    Pembuat undang-undang dapat saja memper-hatikan tiap-tiap perubahan undang-undang pidana yang lama dengan jalan membuat ketentuan pidana khusus.     

B.  Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat
Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat (locus deliciti) ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi.
Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu :
a.       Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b.      Aliran yang menentukan beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat.
Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah Arrest HR di Netherland tahun 1889 tentang “penipuan”.[2] Duduk perkaranya adaalah sebagai berikut;
Terdakwa dari Amsterdam minta kepada perusahaan di Perancis supaya dikirim barang-barang atas tanggungannya kepada alamat tertentu di Amsterdam. Surat pemesanan itu dibuat sedemikian rupa seakan-akan pemesanan tersebut mewakili perusahaan ekspor secara besar-besaran dan yang mewakili kreditwaarding (dapat dipercaya utang).setelah barang-barang dikirim dan kemudian ternyata tidak dibayar, maka dibikin perkara di Amsterdam tadi dengan tuduhan penipuan. Perkara itu maju di pengadilan Amsterdam. Jawab terdakwa: “penipuan itu terjadi pada saat barang itu diberikan oleh orang yang kena tipu. Barang-barang itu diberikan di Perancis, untk seterusnya disampaikan kepada alamatnya di Amsterdam. Maka dari itu penipuan terjadi diperancis dan bukan di Amsterdam sehingga pengadilan Amsterdam tidak berhak memriksanya, sebab dalam hal ini berlaku hukum Perancis. Pendirian HR: tempat kejadian bukanlah ditentukan oleh tempat dimana akibat dari kelakuan terdakawa itu terjadi, tetapi ditentukan oleh tempat dimana terdakwa itu berbuat. Sejauh apa yang dari pihaknya yang diperlakukan bagi kejahatan tersebut.
Teori tentang tempat dimana kelakuan terjadi diluaskan dengan tempat diman alat yang dipakai oleh terdakwa untuk bekerja, manakala terdakwa dalam melakukan perbuatan pidana menggunakan suatu alat. Umpamanya membunuh dengan menggunakan mwmasang bom waktu, locus deliciti adalah tempat dimana tempat korban di umumkan.
Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah pilih antara tempat diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat.  

BAB III
KESIMPULAN
A.  Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu

a.      Pasal 1 ayat 1 KUHP
Sesuai yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pidana tersebut.
Didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung asas legalitas, yakni seseorang tidak dapat dikenai hukuman atau pidana jika tidak ada Undang-Undang yang di buat sebelumnya.Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu.
b.      Pasal 1 ayat 2 KUHP
Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku surut (retroaktif) undang-undang pidana. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut, namun demikian aturan undang-undang tersebut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagi terdakwa.           
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu:
a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perudahan dalam perundang-undangan.
b. Dipakai aturan yang paling menguntungkan atau meringankan.

B.  Berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat
Mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat (locus deliciti) ini, dalam KUHP tidak ada ketentuan apa-apa. Lain misalnya dengan KUHP di Jerman, dimana dalam pasal 3 ditentukan bahwa tenpat perbuatan pidana adalaha tempat dimana tempat terdakwa berbuat, diaman seharusnya terjadi.
Menurut teori, biasanya tentang locus deliciti ini ada dua aliran, yaitu :
a.       Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b.      Aliran yang menentukan beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat.
Menurut aliran yang kedua, locus deliciti adalah pilih antara tempat diman perbuatan dimulai dengan kwlakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat.


[1] A. Zainal Abidin Farid, 1995 : 154
[2] arrest pidana Bemmelen kaca 40 no. 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar